Selasa, 02 Juni 2009

ANAK PEMAIN BOLA SEJATI


Kisah Juara Sejati
Senin, 30 Maret 2009 05:19 WIB
Dalam perjalanan pulang, saya sudah membayangkan bagaimana perasaan ayah nanti. Dia pasti bangga melihat prestasi saya ini. Begitu sampai di rumah, saya bercerita tentang penghargaan yang saya terima sebagai pemain terbaik. Ayah bukannya bangga, tapi langsung membanting piala hingga hancur. Saya tercengang. Dan, menangis sedih.
Ternyata sesuatu yang baik buat saya belum tentu juga baik bagi orang lain. Begitu pikir saya. Sambil berusaha mengumpulkan pecahan piala, dalam hati saya berjanji dan ingin membuktikan bahwa saya mampu menjadi pemain terkenal, melebihi prestasi yang dicapai ayah.
Itu ”jeritan” hati Ronny Pattinasarany saat masih anak- anak dan tergabung di klub Persatuan Sepak Bola Anak Mawas (PSAM), Makassar. Mawas adalah nama lapangan sepak bola di depan rumah Ronny kecil, tempat ia dibesarkan di keluarga pasangan Stevanus Pattinasarany, yang akrab dipanggil Nus, dengan Olga Rijnenberg.
Kisah yang tertuang di halaman 24 buku Dan, Saya Telah Menyelesaikan Pertandingan Ini, Memoar Sang Legenda Sepak Bola Ronny Pattinasarany itu melukiskan betapa Ronny juga menghadapi jalan berliku sebelum menjadi bintang. Nus, sang ayah, yang tidak setuju Ronny mengikuti jejaknya sebagai pemain sepak bola, membanting piala pemain terbaik, prestasi Ronny pada turnamen anak- anak, 1963.
Ketika itu, Ronny yang bernama lengkap Roland Hermanus Pattinasarany masih berusia 14 tahun dan sudah gila bola. Tak heran ia langsung tertarik masuk PSAM, yang dilatih pemain nasional top saat itu, Ramang. Dalam turnamen antarkesebelasan anak-anak di Makassar kala itu, Ronny muda mengantar PSAM melaju ke final sebelum dikalahkan tim Mamajang lewat adu penalti. Toh, meski gagal mengantar timnya menjadi juara, Ronny terpilih sebagai pemain terbaik.
Buku setebal 207 halaman karya Andreas J Waskito ini tak berlebihan jika disebut sebagai ”potret diri” Ronny, yang lahir pada 9 Februari 1949 dan meninggal 19 September 2008 karena penyakit kanker. Dengan kata lain, ini benar-benar memoar Ronny, salah seorang legenda sepak bola Indonesia.
Coba simak bagaimana perjuangan Ronny lainnya saat ia meniti karier di PSM Makassar dan tim senior. Pada halaman 45, misalnya, tertulis, Terpilih masuk skuad tim yunior PSM, membuat saya dua hari dua malam tidak tidur, karena saking gembiranya. Ia menuturkan, saat tim yunior PSM ikut turnamen Piala Soeratin, ada perjalanan melelahkan tapi penuh kenangan, ketika rombongan PSM muda itu menuju Jakarta dengan pesawat Dakota milik Angkatan Udara.
Bertolak pukul enam pagi dan transit dulu di Malang selama satu jam. Setelah itu, terbang langsung ke Jakarta. Tiba di Bandara Halim Perdanakusuma sekitar pukul enam sore. Sebuah perjalanan yang sangat melelahkan, tapi penuh kenangan. Begitulah Ronny mengenang perjalanan ke Jakarta pertama kali sebagai pemain PSM.
Pemain keras hati
Cuplikan hidup lain yang juga menarik adalah saat Ronny tak dipanggil pelatih tim nasional, Wiel Coerver, pada 1973, saat suami Stella Pattinasarany itu berada di puncak karier, baik sebagai gelandang maupun libero. Ketika itu, Coerver hanya memanggil dua pemain senior, yakni Iswadi Idris dan Risdianto. Dari buku Dan, Saya Telah Menyelesaikan Pertandingan Ini,
Dia (baca: Coerver) tidak memanggil saya, lebih karena pertimbangan nonteknis. Yaitu, hampir semua pengurus teras PSSI di bawah pimpinan Ali Sadikin menolak kehadiran saya dalam tim nasional. Mengenai hal ini, tidak jelas apa alasannya.
Beruntung bagi Ronny, Coerver pun tidak mau begitu saja diintervensi pengurus PSSI sehingga pelatih itu tetap berusaha agar Ronny bisa masuk tim. Alkisah, dengan mediator Benny Moeljono, tokoh Galatama era 1970-1980, Ronny bertemu Coerver di Lembang, Bandung, lokasi latihan tim nasional. Pada pertemuan itulah Coerver mengutarakan isi hatinya bahwa ia masih membutuhkan Ronny.
Bagaimana strategi Coerver agar Ronny bisa masuk tim? Inilah yang menarik. Pertama, Coerver meminta pengertian Ronny bahwa selama di pelatnas, status Ronny bukan sebagai pemain. Kedua, ini pintar-pintarnya Coerver, begitu tutur Ronny, pemain bintang itu diajak ke Lembang dengan status sebagai pemain tamu, seperti Sinyo Aliandoe dan Saari. Alhasil, tidak ada yang menggugat keberadaan Ronny di pelatnas.
Sehari-hari, meski status sang bintang adalah pelatih tamu, ia mengerjakan semua program latihan seperti halnya pemain. Itu berjalan bukan tanpa masalah. Salah satu problem itu terjadi saat Ronny hendak masuk asrama pemain di Lembang, Bandung, karena ternyata semua kamar sudah kosong. Upaya mencari hotel di dekat asrama hasilnya juga nihil karena tidak diberi izin Coerver.
Alhasil, Ronny akhirnya tidur di garasi mobil asrama! Saya terima semua itu dengan lapang dada. Setelah ”penghuni” garasi, sebuah mobil gaz, dikeluarkan, saya yang menjadi penggantinya. Akhirnya, jadilah saya tidur di garasi mobil, dengan perasaan nelangsa. Hati kecil saya sebenarnya tidak rela. Tapi, semua itu segera saya tepis. Tekad saya bulat, ingin membuktikan kepada masyarakat, khususnya pengurus PSSI, bahwa saya masih pantas memperoleh tempat utama di tim nasional.
Kisah ini memberi gambaran betapa Ronny memang pemain yang keras hati. Dan, kekerasan hatinya itu terbayar dengan prestasi di SEA Games 1979, dengan mengantar Indonesia melaju ke final sebagai libero. Aksi sebagai libero ini pula yang mengaitkan Ronny dengan legenda Jerman, Franz Beckenbauer, sehingga sempat ada julukan, Ronny Pattinasarany adalah Beckenbauer Asia.
Bebaskan Abenk dan Yerry
Masih banyak sisi menarik Ronny di buku terbitan Kompas Gramedia ini. Sebut saja saat pertama kali bekerja di Kantor Wilayah BNI 46 07, Makassar, pada Februari 1972.
Ronny menyebut hari pertama kerja itu sebagai hari yang canggung karena harus bekerja seperti orang kantoran. Tak heran dia yang mengaku terbiasa tidur siang, mengatakan tidak pernah bisa bekerja selepas siang. Karena itu, kadang-kadang saat kantuk menyerang, Ronny memilih tidur di dapur kantor. Pekerjaan di BNI 46 akhirnya ditinggalkan Ronny karena ia memilih berkonsentrasi di sepak bola.
Di halaman 105, pada bab berjudul ”Totalitas dalam Dunia Sepak Bola”, tercantumlah semacam kesimpulan dari begitu panjangnya karier Ronny di sepak bola nasional.
Sederet penghargaan ia terima, seperti atlet nasional terbaik SIWO PWI Jaya 1974 dan 1981 serta pemain terbaik kompetisi Galatama 1979 dan 1980. Ia juga bertahan di tim nasional sejak 1970 hingga 1980, rentang waktu yang lama.
Ada juga penuturan Ronny soal tim nasional terbaik versi dia. Tim itu adalah kesebelasan Indonesia yang berlaga di Anniversary Cup 1972. Bagi Ronny, seperti dia ungkapkan kepada penulis buku, Andreas J Waskito, bukan saja karena ia menjadi pemain debutan di tim itu, tetapi karena tim itu sangat istimewa setelah mampu mengalahkan Korea Selatan dengan 5-2 di laga final. Tak hanya itu, sehari setelah meraih gelar juara turnamen itu, mereka kalah tipis 2-3 dari klub Brasil, Santos, yang waktu itu masih diperkuat legenda dunia, Pele.
Tim asuhan drg Endang Witarsa itu diperkuat Yudo Hadianto/Ronny Paslah (kiper), pemain belakang terdiri dari Yuswardhi, Fam Tek Fong alias Mulyadi, Anwar Ujang, dan Sunarto. Lini tengah berisi M Basri, Suaeb Rizal, Surya Lesmana, Ronny Pattinasarany. Yacob Sihasale dan Junaedi Abdillah menjadi duet penyerang. Dengan pemain cadangan Iswadi Idris, Risdianto, Waskito, Abdul Kadir, dan Andi Lala, Ronny menyebut ini tim nasional terbaik setelah era Sucipto Suntoro. Sisi menarik lain dan sekaligus mengharukan adalah saat Ronny meninggalkan karier dan ”hidup”-nya di sepak bola demi menyelamatkan kedua anaknya, Abenk dan Yerry, dari jeratan ketergantungan narkoba.
Tentang ini, cukup dikutip komentar Abenk dan Yerry, yang kini aktif dalam kegiatan pelayanan rohani, untuk melukiskan betapa hebat perjuangan Ronny dan istrinya, Stella. (ADI PRINANTYO)